Kamis, 11 Maret 2010

JILBAB : TINJAUAN RELIGIUS DAN PSIKOLOGI SOSIAL

A. Jilbab dan Kriterianya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jilbab berarti sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.[1]

Dalam beberapa ayat Al-Qur’an tentang jilbab – atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut hijab – selalu dihubungkan dengan larangan menampakkan perhiasan. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS. An-Nur (24 : 31) yang berbunyi :
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, … ” [2]




Yang dimaksud dengan kata kerudung dalam kalimat “dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” ialah kain yang menutupi kepala, leher dan dada. Sedangkan kata al-jayb menunjukkan makna dada terbuka yang tidak ditutup dengan pakaian, atau bahkan yang lebih luas dari itu, yakni dada, perhiasan, pakaian, dan make up. [3]

Sedangkan kata perhiasan dimaknai dengan keinginan dan kesenangan wanita untuk dapat mempercantik dan melengkapi dirinya dengan cara apapun, yang nantinya akan ia tampakkan kepada kaum lelaki. [4] Hal ini merupakan fitrah yang tidak mungkin dilarang, karena manusia sangat senang terhadap fitrah dan kesenangannya. Islam datang tidak untuk melarang perhiasan ini, melainkan menertibkan dan menetapkan bentuk-bentuk yang wajar yang tidak mengundang nafsu birahi dan bentuk-bentuk yang dapat menghindarkannya dari kejahatan dan kekejian.

Ayat ini merincikan kebaikan yang diinginkan Allah untuk kita, dan menjaga masyarakat dari kehinaan dan kebobrokan. Ayat tersebut menginginkan keselamatan bagi kehidupan manusia dari kobaran nafsu seksual yang tidak sah, agar dapat menjaga diri dari noda dan dosa.

Adapun beberapa kriteria jilbab dan pakaian muslimah adalah [5] :

1. Menutup aurat. Sebagai tujuan utama jilbab yaitu menutup aurat. Ada pengecualian terhadap wajah dan telapak tangan. Jilbab seharusnya menjadi penghalang yang menutupi pandangan dari kulit.
2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan. Tujuan kedua dari perintah menggunakan jilbab adalah untuk menutupi perhiasan wanita. Dengan demikian tidaklah masuk akal jika jilbab itu sendiri menjadi perhiasan.
3. Kainnya harus tebal. Sebab, yang menutup itu tidak akan terwujud kecuali dengan kain yang tebal. Jika kainnya tipis, maka hanya akan semakin memancing fitnah dan godaan, yang berarti menampakkan perhiasan. Karena itu ulama mengatakan:

“Diwajibkan menutup aurat dengan pakaian yang tidak mensifati warna kulit, berupa pakaian yang cukup tebal atau yang terbuat dari kulit. Menutupi aurat dengan pakaian yang masih dapat menampakkan warna kulit – umpamanya dengan pakaian yang tipis – adalah tidak dibolehkan karena hal itu tidak memenuhi kriteria ‘menutupi’ ”. [6]

1. Harus longgar, sehingga tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya. Tujuan berpakaian adalah menghilangkan fitnah, dan hal itu tidak akan terwujud kecuali pakaian yang digunakan wanita itu longgar dan luas. Jika pakaian itu ketat, maka tetap dapat menggambarkan bentuk atau lekuk tubuhnya, atau sebagian dari tubuhnya dari pandangan mata. Kalau begitu keadaannya, maka sudah pasti akan mengundang kemaksiatan bagi kaum laki-laki.
1. Tidak diberi wewangian. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw. yang artinya “Siapapun perempuan yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina …”[7]

Dari kelima kriteria dan syarat jilbab menurut aturan Islam, maka kita dapat mengambil gambaran yang jelas tentang bagaimana jilbab sebenarnya.

B. Pengaruh Jilbab Sebagai Busana Muslimah dalam Pergaulan

Perintah memakai busana muslimah, juga terdapat dalam QS. Al-Ahzab : 59 yang berbunyi :
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. [8]

Dalam ayat ini, perintah berbusana muslimah akan memberikan beberapa hikmah, yaitu “supaya lebih mudah dikenal, sehingga tidak diganggu”. Busana muslimah, secara langsung ataupun tidak akan memberikan pengaruh pada pembentukan konsep diri. Baik bagi yang memakai, maupun bagi yang memandang.

Anita Taylor menyatakan bahwa “konsep diri adalah semua yang anda pikirkan dan anda rasakan tentang diri anda, seluruh kompleks kepercayaan dan sikap tentang anda yang anda pegang teguh”.[9] Konsep diri menentukan perilaku anda. Sebagai contoh, seorang yang memandang dirinya sebagai seorang yang selalu gagal. Seringkali jika upayanya hampir berhasil, ia dipukul oleh kegagalan yang tidak terduga. Begitu juga akhirnya, bila anda merasa anda bukan orang baik, segala perilaku anda disesuaikan dengan orang tersebut. Anda akan bergaul dengan orang jahat, berbicara kasar, dan melakukan tindakan kejahatan.

Dalam psikologi sosial, jilbab sebagai busana muslimah mempunyai tiga fungsi utama,[10] yaitu :

1. Diferensiasi.

Dengan busana muslimah seseorang membedakan dirinya, kelompoknya atau golongannya dari orang lain. Busana memberikan identitas yang memperteguh konsep diri. Kelompok anak muda yang ingin menegaskan identitasnya, berusaha menunjukkan pakaian yang aneh-aneh. Dengan perilaku aneh, ia membedakan dirinya dengan orang tua. Busana muslimah memberikan identitas keislaman, yang membedakan dirinya dari kelompok wanita yang lain.

Dalam dunia modern sekarang ini, banyak wanita yang mencari-cari identitas dengan menampilkan pakaian-pakaian yang sedang in atau menjadi mode zaman. Seorang wanita yang tiba-tiba naik pada posisi tinggi mengalami krisis identitas. Untuk memperteguh identitas dirinya, ia akan mencari busana yang melambangkan status barunya.

1. Perilaku.

Busana muslimah bagi seorang muslimah, memberikan citra diri yang stabil. Ia ingin menunjukkan bahwa “Saya adalah muslimah” melalui jilbabnya. Dengan itu, tertanam dalam dirinya untuk menolak segala macam sistem jahiliyah dan ingin hidup dalam sistem islami. Karena itu, selembar kain kerudung yang menutup rambut dan lehernya menjadi simbol keterlibatan pada Islam.

Dari sini, busana muslimah mendorong pemakainya berperilaku sesuai dengan citra muslimah. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan memakai pakaian seragam kelompok tertentu, seorang menunjukkan – melalui pakaian seragamnya itu – bahwa ia telah melepaskan haknya untuk bertindak bebas dan dalam batas-batas kaidah-kaidah kelompoknya. ABRI yang berpakaian seragam akan merasakan perilakunya berbeda ketika ia berpakaian preman. Santri yang menanggalkan sarung dan peci serta menggantikannya dengan celana “blue-jeans” dan “t-Shirt” akan merasakan perubahan perilakunya.

1. Emosi.

Pakaian mencerminkan emosi pemakainya, sekaligus mempengaruhi perilaku orang lain. Busana muslimah yang diungkapkan secara massal akan mendorong emosi keagamaan yang konstruktif. Emosi dan perilaku sebenarnya kembali kepada fungsi pertama dari pakaian, yakni diferensiasi.

Bila kita berjumpa dengan orang lain, kita akan mengkategorikan orang itu dalam satu kategori yang terdapat di dalam memori kita. Kita akan segera mengelompokkan orang ke dalam kategori mahasiswa, cendekiawan, penjahat, dan lain-lain. Kita menetapkan kategori itu berdasarkan gambaran yang tampak, petunjuk wajah, petunjuk bahasa dan petunjuk artifaktual. Dalam waktu yang singkat, kita akan umumnya menggunakan petunjuk artifaktual, dalam hal ini busana. Karena busana terlihat sebelum terdengar.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gibbins pada gadis-gadis sekolah menengah menunjukkan bahwa manusia memang betul-betul menilai orang lain atas dasar busananya dan makna yang disampaikan busana tertentu cenderung disepakati.[11]

Wanita yang menggunakan busana muslimah akan selalu dipersepsi dalam kategori muslimah. Boleh jadi, berbagai gambaran tentang kriteria seorang muslimah dikaitkan dengan kategori ini, misalnya wanita saleh, istri yang baik, tahu banyak tentang agama dan lain-lain. Apa pun konotasinya, inti persepsinya tidak mungkin lepas dari kategori muslimah. Dari persepsi itu, orang kemudian mengatur perilakunya terhadap pemakai busana muslimah. Orang tidak akan melakukan perbuatan tidak senonoh, kemungkinan hanya “gangguan” kecil seperti ucapan “Assalamu ‘Alaikum” untuk bercanda.

Inilah barangkali yang dimaksud oleh Allah dengan “sehingga mereka tidak diganggu” .

Busana muslimah mempunyai fungsi penegas identitas. Dengan busana itu, seorang muslimah mengidentifikasikan dirinya dengan ajaran Islam. Karena identifikasi ini, ia akan terdorong untuk berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. Busana muslimah akan menyebabkan orang lain mempersepsi pemakainya sebagai wanita muslimah dan akan memperlakukannya seperti dia.

Related Articles:

Posting Komentar