Jumat, 29 April 2011

Menjadi Idola ‘Teladan’

Nggak ada yang melarang orang jadi idola dan mengidolakan. Asal, jadilah idola �teladan’, yang bertanggung jawab dan memang pantas diteladani.

Apa sih yang biasanya dikerjakan orang yang udah top di tengah-tengah kerumunan? Nyamar! Yup, itulah kata Woody Allen, salah seorang sutradara kondang dari Hollywood. “Selebriti,� katanya, “adalah orang yang bekerja keras sepanjang hidupnya untuk terkenal, lalu memakai kacamata item supaya nggak dikenali!� Wah, kalau si Ariel vokalis Peterpan jalan-jalan di pasar, udah pasti kan jadi sorotan banyak mata, diuber, diminta tanda tangan, dipeluk, dicium atau dicubitin. Itulah buah popularitas. Enak? Tergantung. Ada seleb yang merasa enjoy, walau nggak sedikit juga yang ngerasa kenyamanan dirinya terganggu bahkan terancam.

Tapi, apapun komentar miring banyak orang tentang idola, masih banyak orang yang ngantri pengen jadi idola. Dan tahu nggak, sebenarnya kita juga emang butuh idola.

Semua butuh idola
Lho, kok bisa sih? Ini karena manusia mahluk yang selalu belajar. Pernah nggak kepikir, bahwa kita menjadi seperti sekarang – bisa makan, minum, ngomong, bercanda, ngaji, sholat – semua adalah hasil menjiplak dari orang lain? Tentu yang pertama kali kita contek abis gayanya adalah ortu kita. Kata filsuf Inggris, John Locke, manusia itu memang ibarat meja lilin (tabula rasa) yang bisa ditulisi apa saja. Artinya, ia belajar dari lingkungan sekitar untuk membentuk karakternya. Nggak heran ya kalau ada remaja yang rajin sholat, mungkin karena ortunya mencontohkannya di rumah mereka. Juga bukan karena sulap kalau sekarang banyak anak-anak kecil yang berponi ria, itu adalah ajaran dari Dora The Explorer. Berhasil, berhasil!

Proses belajar ini bisa deh kita sebut sebagai pengidolaan. Idola atau idol (bhs. Inggris), kata kamus Microsoft Encarta adalah “somebody or something greatly and often fanatically admired and loved (disapproving ) – seseorang atau sesuatu yang besar dan sering dihormati dan dicintai dengan fanatik�. Contohnya, Elvis Presley, cowok yang dinobatkan sebagai King of Rock �n’ Roll ini dipuja abis ama penggemarnya. Saat ia kudu ikut wamil dan dikirim ke Vietnam, seorang penggemarnya dan pacarnya mengirim surat protes ke Presiden Amrik waktu itu, Dwight D. Eisenhower. “Aku tidak mengerti kenapa kamu harus mengirimnya kepada tentara, tapi kami memohon padamu, Tuan Presiden, jangan beri ia potongan rambut seperti tentara, please don’t! Kalau engkau melakukannya kami lebih baik mati!� Ampun!

Sekarang pun meski udah ngendon di alam baka, para penggemar Elvis masih rajin berziarah ke makam sang Raja. Hal yang sama juga dilakukan para penggemar Raja Kungfu Bruce Lee. Penggemarnya malah ada yang menyangka kalau ia belum mati, tapi lagi jalan-jalan. Nyari jurus baru? Nggak jelas juga.

Pada idola ada penghormataan, kecintaan dan …keteladanan! Ketika saya kecil, saya mulai doyan makan bayam setelah sering nonton Popeye The Sailorman. Padahal ortu saya sering banget menawarkan sayur bayam. Untungnya saya nggak ikut-ikutan ngisep cangklong! Ya, idola itu dibutuhin untuk membantu kita menemukan jati diri dan menerima kebenaran. Banyak remaja dan orang tua yang manggut-manggut saat Kang Gito Rolies, seleb kita yang pernah tenar di tahun 80-an, bercerita pengalaman pahitnya berkawan dengan narkoba. Hal yang sama susah dilakukan oleh petugas kepolisian atau seorang ustadz. Remaja putri berduyun-duyun mendatangi ceramah Inneke Koesherawati, lalu sebagian mulai tergerak hatinya untuk berkerudung, terinspirasi penampilan dan nasihat Inneke. Padahal, tema yang sama sering disampaikan para ustadzah atau da’iyyah, tapi efek Inneke jauh lebih besar karena ia adalah seorang idola.

Al-Quran bercerita pada kita kalau Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad saw. nggak cuma menyampaikan risalah, tapi juga jadi suri tauladan. Kata Allah, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah saw. suri teladan yang baik.�(QS al-Ahzab [33]: 21). Para sahabat mencontoh segala hal yang diajarkan dan dikerjakan oleh Nabi saw. Dia memang idola sejati.

Idola sejati
Kalau begitu, apa boleh jadi idola? Entar dulu. Kalau kita liat, ada dua jenis idola; pertama, orang yang memang sengaja pengen jadi idola alias mencari popularitas. Untuk yang begini maka caranya gampang-gampang susah. Susahnya kamu kudu punya talent tertentu; suara kalau mau jadi penyanyi, tampang dan penampilan (kalau mau jadi artis atau model), atau kenekatan (kalau mau jadi pelawak). Gampangnya, sekarang lagi banyak dibuka kesempatan audisi untuk menjadi idola; model, penyanyi, akting, presenter, sampai pelawak. Tinggal pilih mana yang kamu suka.

Rawannya idola model pertama, mereka sering tidak ngeh kalau segala kelakuan mereka jadi panutan banyak orang. Seringkali mereka asyik-asyik aja dengan kelakuan mereka yang udah dikopi abis ama para fans mereka. Kalau yang baik alhamdulillah, lha kalau yang jelek? Amit-amit.

Kedua, yang diidolakan orang lain karena tabiat baiknya. Artinya, ini orang emang nggak mencari popularitas. Doi jadi beken karena perilaku bagusnya. Kenal kan nama Said Hawa, Sayyid Quthub, Hasan al-Bana? Mereka jadi ngetop karena jasa-jasa baiknya. Nggak sedikit juga remaja yang kesengsem ama Jose Jurnalis Rijal. Itu tuh pendiri Mer-C yang rajin turun nolongin orang-orang yang kena musibah seperti di Ambon dan Aceh. Kiprah tanpa pamrih dari bapak yang satu ini patut diteladani.

Sobat muda, di dunia ini banyak orang berbuat baik tanpa mengharapkan tepuk tangan meriah, sorotan kamera, pemberitaan,? pujian apalagi imbalan. Cita-cita dari kerja keras mereka semata ingin membantu sesama dan mendapatkan ridlo Allah Swt. Nama-nama yang disebut di atas baru sebagian saja. Masih berderet lagi barisan orang-orang ikhlas yang pantas jadi idola. Ada yang berkiprah di bidang iptek, pelayanan umat, dakwah, pendidikan, dsb.

Dari dua macam idola ini, rasanya kita semua sepakat kalau inilah yang terbaik. Kalau golongan yang pertama sibuk mencari ketenaran diri, yang kedua malah nggak memikirkannya, justru bekerja untuk orang lain. Golongan pertama sering mencari sensasi agar orang tidak lupa padanya. Mereka juga selalu H2C, harap-harap cemas, kalau orang sudah melupakan dirinya. Sementara itu kelompok yang kedua sama sekali nggak bawa beban apa-apa. Nothing to loose. Beda banget kan?

Biarlah cuma Allah yang tahu amal kita, kagak perlu publisitas apalagi berharap nama kita dikenal banyak orang. Kalau kebaikan kita adalah gagasan, biarlah gagasan itu yang dikenal dan menjadi milik semua orang. Toh, Allah nggak pernah salah mengkalkulasi dan membagi pahala pada hamba-hambaNya. Iya, kan?[januar] http://www.gaulislam.com/

Related Articles:

Posting Komentar