Menjadi Idola ‘Teladan’

Nggak ada yang melarang orang jadi idola dan mengidolakan. Asal, jadilah idola �teladan’, yang bertanggung jawab dan memang pantas diteladani.

Apa sih yang biasanya dikerjakan orang yang udah top di tengah-tengah kerumunan? Nyamar! Yup, itulah kata Woody Allen, salah seorang sutradara kondang dari Hollywood. “Selebriti,� katanya, “adalah orang yang bekerja keras sepanjang hidupnya untuk terkenal, lalu memakai kacamata item supaya nggak dikenali!� Wah, kalau si Ariel vokalis Peterpan jalan-jalan di pasar, udah pasti kan jadi sorotan banyak mata, diuber, diminta tanda tangan, dipeluk, dicium atau dicubitin. Itulah buah popularitas. Enak? Tergantung. Ada seleb yang merasa enjoy, walau nggak sedikit juga yang ngerasa kenyamanan dirinya terganggu bahkan terancam.

Tapi, apapun komentar miring banyak orang tentang idola, masih banyak orang yang ngantri pengen jadi idola. Dan tahu nggak, sebenarnya kita juga emang butuh idola.

Semua butuh idola
Lho, kok bisa sih? Ini karena manusia mahluk yang selalu belajar. Pernah nggak kepikir, bahwa kita menjadi seperti sekarang – bisa makan, minum, ngomong, bercanda, ngaji, sholat – semua adalah hasil menjiplak dari orang lain? Tentu yang pertama kali kita contek abis gayanya adalah ortu kita. Kata filsuf Inggris, John Locke, manusia itu memang ibarat meja lilin (tabula rasa) yang bisa ditulisi apa saja. Artinya, ia belajar dari lingkungan sekitar untuk membentuk karakternya. Nggak heran ya kalau ada remaja yang rajin sholat, mungkin karena ortunya mencontohkannya di rumah mereka. Juga bukan karena sulap kalau sekarang banyak anak-anak kecil yang berponi ria, itu adalah ajaran dari Dora The Explorer. Berhasil, berhasil!

Proses belajar ini bisa deh kita sebut sebagai pengidolaan. Idola atau idol (bhs. Inggris), kata kamus Microsoft Encarta adalah “somebody or something greatly and often fanatically admired and loved (disapproving ) – seseorang atau sesuatu yang besar dan sering dihormati dan dicintai dengan fanatik�. Contohnya, Elvis Presley, cowok yang dinobatkan sebagai King of Rock �n’ Roll ini dipuja abis ama penggemarnya. Saat ia kudu ikut wamil dan dikirim ke Vietnam, seorang penggemarnya dan pacarnya mengirim surat protes ke Presiden Amrik waktu itu, Dwight D. Eisenhower. “Aku tidak mengerti kenapa kamu harus mengirimnya kepada tentara, tapi kami memohon padamu, Tuan Presiden, jangan beri ia potongan rambut seperti tentara, please don’t! Kalau engkau melakukannya kami lebih baik mati!� Ampun!

Sekarang pun meski udah ngendon di alam baka, para penggemar Elvis masih rajin berziarah ke makam sang Raja. Hal yang sama juga dilakukan para penggemar Raja Kungfu Bruce Lee. Penggemarnya malah ada yang menyangka kalau ia belum mati, tapi lagi jalan-jalan. Nyari jurus baru? Nggak jelas juga.

Pada idola ada penghormataan, kecintaan dan …keteladanan! Ketika saya kecil, saya mulai doyan makan bayam setelah sering nonton Popeye The Sailorman. Padahal ortu saya sering banget menawarkan sayur bayam. Untungnya saya nggak ikut-ikutan ngisep cangklong! Ya, idola itu dibutuhin untuk membantu kita menemukan jati diri dan menerima kebenaran. Banyak remaja dan orang tua yang manggut-manggut saat Kang Gito Rolies, seleb kita yang pernah tenar di tahun 80-an, bercerita pengalaman pahitnya berkawan dengan narkoba. Hal yang sama susah dilakukan oleh petugas kepolisian atau seorang ustadz. Remaja putri berduyun-duyun mendatangi ceramah Inneke Koesherawati, lalu sebagian mulai tergerak hatinya untuk berkerudung, terinspirasi penampilan dan nasihat Inneke. Padahal, tema yang sama sering disampaikan para ustadzah atau da’iyyah, tapi efek Inneke jauh lebih besar karena ia adalah seorang idola.

Al-Quran bercerita pada kita kalau Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad saw. nggak cuma menyampaikan risalah, tapi juga jadi suri tauladan. Kata Allah, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah saw. suri teladan yang baik.�(QS al-Ahzab [33]: 21). Para sahabat mencontoh segala hal yang diajarkan dan dikerjakan oleh Nabi saw. Dia memang idola sejati.

Idola sejati
Kalau begitu, apa boleh jadi idola? Entar dulu. Kalau kita liat, ada dua jenis idola; pertama, orang yang memang sengaja pengen jadi idola alias mencari popularitas. Untuk yang begini maka caranya gampang-gampang susah. Susahnya kamu kudu punya talent tertentu; suara kalau mau jadi penyanyi, tampang dan penampilan (kalau mau jadi artis atau model), atau kenekatan (kalau mau jadi pelawak). Gampangnya, sekarang lagi banyak dibuka kesempatan audisi untuk menjadi idola; model, penyanyi, akting, presenter, sampai pelawak. Tinggal pilih mana yang kamu suka.

Rawannya idola model pertama, mereka sering tidak ngeh kalau segala kelakuan mereka jadi panutan banyak orang. Seringkali mereka asyik-asyik aja dengan kelakuan mereka yang udah dikopi abis ama para fans mereka. Kalau yang baik alhamdulillah, lha kalau yang jelek? Amit-amit.

Kedua, yang diidolakan orang lain karena tabiat baiknya. Artinya, ini orang emang nggak mencari popularitas. Doi jadi beken karena perilaku bagusnya. Kenal kan nama Said Hawa, Sayyid Quthub, Hasan al-Bana? Mereka jadi ngetop karena jasa-jasa baiknya. Nggak sedikit juga remaja yang kesengsem ama Jose Jurnalis Rijal. Itu tuh pendiri Mer-C yang rajin turun nolongin orang-orang yang kena musibah seperti di Ambon dan Aceh. Kiprah tanpa pamrih dari bapak yang satu ini patut diteladani.

Sobat muda, di dunia ini banyak orang berbuat baik tanpa mengharapkan tepuk tangan meriah, sorotan kamera, pemberitaan,? pujian apalagi imbalan. Cita-cita dari kerja keras mereka semata ingin membantu sesama dan mendapatkan ridlo Allah Swt. Nama-nama yang disebut di atas baru sebagian saja. Masih berderet lagi barisan orang-orang ikhlas yang pantas jadi idola. Ada yang berkiprah di bidang iptek, pelayanan umat, dakwah, pendidikan, dsb.

Dari dua macam idola ini, rasanya kita semua sepakat kalau inilah yang terbaik. Kalau golongan yang pertama sibuk mencari ketenaran diri, yang kedua malah nggak memikirkannya, justru bekerja untuk orang lain. Golongan pertama sering mencari sensasi agar orang tidak lupa padanya. Mereka juga selalu H2C, harap-harap cemas, kalau orang sudah melupakan dirinya. Sementara itu kelompok yang kedua sama sekali nggak bawa beban apa-apa. Nothing to loose. Beda banget kan?

Biarlah cuma Allah yang tahu amal kita, kagak perlu publisitas apalagi berharap nama kita dikenal banyak orang. Kalau kebaikan kita adalah gagasan, biarlah gagasan itu yang dikenal dan menjadi milik semua orang. Toh, Allah nggak pernah salah mengkalkulasi dan membagi pahala pada hamba-hambaNya. Iya, kan?[januar] http://www.gaulislam.com/
Read More »

Adian Husaini: Lebay, Stereotype Jahat Film Hanung



Jakarta (voa-islam) – Bukan hanya Ketua MUI KH. Cholil Ridwan yang menyatakan kecewa setelah menonton film ”?” (tanda tanya) yang disutradarai Hanung Bramantyo. Pemerhati Paham Sepilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme) Adian Husaini juga menyatakan kekecewaannya.

”Setelah saya melihat triller film ini yang lebih dulu disebarkan di You Tube, hingga menonton langsung filmnya malam ini, jelas sekali, film ini sangat merusak, berlebihan, dan melampaui batas. Hanung ingin menggambarkan kerukunan, tapi justru memberi stereotype yang buruk tentang Islam.”

Sebagai contoh, kata Adian, di babak awal film ini, ada adegan penusukan terhadap seorang pendeta yang tidak jelas motifnya. Belum lagi adegan pengeboman gereja. Kasus-kasus itu diangkat, untuk memberi steroetype orang Islam yang diperankan secara buruk. Begitu juga, seorang muslim yang murtad dari Islam diangap wajar saja. Kemudian semua agama digambarkan menuju satu tujuan dan tuhan yang sama.

Menurut Adian, ide-de pluralisme itu sendiri sudah lama ditentang oleh Islam. Karena kerukunan itu bisa diwujudkan tanpa mengorbankan keyakinan masing-masing. Adian menilai, film Hanung terkesan lebay alias berlebihan. Film ini ingin menciptakan kerukunan, tapi malah merusak konsep keyakinan pada masing-masing agama, terutama agama slam.

”Sangat disayangkan film ini telah sebarluaskan. Ini bukan menciptakan kerukunan, tapi justru bisa merusak kerukunan itu sendiri. Kalau konsep kebenaran pada setiap agama dihilangkan atas nama pluralisme, justru ini sangat berbahaya,” tukas Adian kesal.

Dikatakan Adian, tidak mungkin setiap agama menghilangkan klaim pada keyakinannya. Selama ini tidak ada masalah. Tidak bisa seorang muslim seenaknya, di masjid melafalkan QS Al Ikhlas, tapi disisi lain memerankan Yesus di sebuah gereja pada hari Pasca dan kegiatan kebaktian agama Nasrani lainnya. Toleransi sebetulnya cukup dengan menghormati orang lain, bukan mencampuradukkan keyakinan.

“Jelas sekali dalam ajaran islam, ada tauhid ada syirik, ada iman ada kufir. Nah, batas-batas itulah yang seharusnya dipegang. Jika produser, penulis, sutradara, pemain itu seorang muslim, seharusnya dia menjaga batas-batas keimanan dan akidahnya, yakni kapan dia mempertahankan konsep keyakinannya dan kapan rukun dengan orang lain yang tidak seagama. Film ini jelas Ini melampaui batas, ini merugikan kerukunan umat beragama itu sendiri,” paparnya.

Hanung Sebaiknya Bertobat

Ketika ditanya, apakah sebaiknya ada seruan untuk memboikot film ini? Adian sendiri tidak menganjurkan agar film ini diboikot. Ia beralasan, sekarang ini era kebebasan, eranya orang boleh menyebarkan apa saja. Terpenting, kata Adian, setiap muslim wajib mempertahankan keimanannya, sehingga tidak tergoda, tidak terjebak, tidak terpesona serta tidak terpeleset.

Di era keterbukaan ini, siapa yang bisa melarang untuk memboikot. Yang pasti tokoh agama harus menjelaskan kepada umat akan bahaya film pluralisme agama yang jelas menyesatkan. Bagi Adian, yang penting masing-masing orang tahu, mana tauhid mana syirik, mana iman mana kufur, mana sunnah mana bidah, mana halal dan mana haram,

”Kadangkala tontonan yang menyesatkan itu dibungkus dengan humor dan gambaran-gambaran sinematografi yang memancing tawa. Sehingga orang lupa dibalik canda dan tanda itu ada sesuatu yang serius. Muslim di era globalisasi adalah menjaga diri dan keluarganya dari api neraka,” tandas Adian.

Mengutip QS Al An am: 112, musuh para Nabi itu selalu mengungkapkan kata-kata yang indah dengan tujuan menyesatkan manusia. “Mudah-mudahan Hanung tidak sadar, keliru, dan segera bertobat. Itu lebih baik, daripada mempertahankan hal yang salah. Kita kan hanya bisa menghimbau. Terserah produser dan sutradaranya masing-masing.”

Yang menjadi persoalan, boleh jadi masyarakat menilai bahwa film garapan Hanung ini sebagai film religius. Padahal, nyatanya Hanung sedang mengkampanyekan pluralisme. Jelas, film ini mengkampanyekan pluralisme yang teramat vulgar sekali. Bukan pluralisme yang halus.

Dalam pandangan Islam, orang murtad itu serius, tidak bisa main-main. Tapi dalam film ini, pilihan murtad seolah bukan hal yang serius, yang biasa saja jika orang yang keluar dari agama Islam.

”Saya menilai apa yang saya lihat dan dengar saja. Saya hanya bisa mengingatkan, kita jangan main-main dengan kemusyrikan, sebab dosa syirik bisa menyebabkan kemurkaan Alloh. Dalam QS Maryam: 88-91. Alloh itu murka karena perkataan Alloh itu punya anak. Karena itu, seorang muslim jangan main-main soal akidah.”

Mengenai toleransi, umat Islam tak perlu diajari. Sejak di Madinah dan Palestina, jauh sebelum orang barat mengenal keberagaman, umat Islam sudah merasakan kemajemukan. ”Tapi ini sudah masuk wilayah teologis, tentu saja sangat sensitif. Seharusnya Hanung membatasi para ruang sosilogis, dimana ada ruang fakta perbedaan antar umat beragam, dimana umat yang berbeda sesungguhnya bisa bekerja sama. ”

Menjadi aneh, seorang muslimah berkerudung tapi merasa nyaman bekerja di sebuah restoran yang menjual daging babi. Mungkin saja ada kasus itu, tapi apakah itu menjadi contoh ideal dari sebuah toleransi? Jelas itu contoh yang tidak baik.

Adian juga menyesalkan adegan seorang muslim memerangkan adegan Yesus, lalu sebagai sesuatu yang wajar. ”Ini bukan wilayah sosiologis dan toleransi lagi, tapi wilayah teologis, yang masing-agama punya konsep yang eksklusif dan khas. Ini salah pandang, dikira kerukunan bisa dibangun dengan menghilangkan klaim kebenaran (truth claim). Jelas ini konsep yang keliru dari sebuah pluralisme.”

Jika pluralisme itu dimaknai semua agama benar, ujung-ujung adalah orang tidak beragama pun boleh. Orang yang ateis dan pluralisme itu sangat dekat. Ketika semua agama dianggap benar, tidak beragama juga tidak apa-apa. Yang penting, baik kepada sesama manusia.

Film Hanung kali ini memang bukan pertama menuai kontroversi, sebelumnya ia membuat film perempuan berkalung surban. ”Saya hanya berharap, semoga Hanung bertobat dan berubah pikiran. Film tanda tanya ini adalah buah dari penerimaan informasi terhadap Islam yang keliru. Jika Hanung betul-betul serius mempelajari Islam, sebaiknya ia jangan menutup diri, sebab menutup diri itu bukan sikap yang baik,” kata Adian berharap. ● Desastian
Read More »